Bismillah…
Ayah, Bunda, para pendidik yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala…
Di antara suara tepuk tangan diiringi senyuman bangga melihat nilai rapor sempurna, adakah yang diam-diam mengkhawatirkan: “Apakah anakku tumbuh dengan hati yang mengenal Rabb-nya?”
Bayangkan seorang anak yang sejak kecil selalu mendapat ranking pertama. Ia hafal rumus, fasih teori, dan lihai dalam ujian. Tapi ketika menghadapi ujian hidup, tekanan, godaan, dan tanggung jawab, ia goyah, bimbang, bahkan tersesat.
Ini bukan fiksi. Ini nyata. Ini adalah potret pendidikan kita hari ini.
Kita telah membangun sistem pendidikan yang terlalu fokus pada “nilai”, namun abai terhadap “nilai-nilai”. Kita bertepuk tangan untuk anak yang dapat 100 di matematika, tapi mengabaikan anak yang jujur saat ujiannya kosong karena tak mau mencontek. Kita puji anak yang fasih Bahasa Inggris, tapi menertawakan anak yang bersikap lembut kepada orang tua. Kita terlalu sering keliru menempatkan ukuran keberhasilan.
Nilai adalah angka. Nilai-nilai adalah jiwa. Dan keduanya tidak selalu sejalan. Kadang yang satu menanjak, sementara yang lain tenggelam.
Pendidikan yang Kehilangan Arah
Hari ini, banyak orangtua dan guru yang kelelahan mendampingi anak. Tidak sedikit dari mereka yang kecewa karena anak-anaknya terlihat “pintar” di atas kertas, namun kurang adab, cepat putus asa, atau bahkan jauh dari kebaikan hati.
Pendidikan kita hari ini sangat terobsesi pada hal-hal yang terlihat: rapor, ranking, sertifikat. Tapi kehidupan tidak pernah mengukur manusia dengan cara yang sama. Di lapangan, integritas, ketangguhan hati, keikhlasan, dan keimananlah yang membuat seseorang bertahan, bukan nilai tinggi semata.
Padahal sejatinya, nilai akademik adalah pelengkap, bukan penentu. Ia penting, namun tidak utama.
Sebagaimana rumah membutuhkan pondasi lebih dari sekadar cat tembok, anak-anak kita pun butuh bangunan nilai lebih dari sekadar angka.
Sebagaimana kami tuliskan dalam artikel sebelumnya: “Menjaga Fitrah di Era Digital: Tauhid sebagai Kompas Pendidikan Anak” , pendidikan sejati adalah pendidikan yang menumbuhkan, bukan hanya mengajar.
Namun karena sistem (dan kita) begitu lama terpaku pada standar-standar duniawi, maka pendidikan pun perlahan kehilangan ruhnya. Ia menjadi sibuk mencetak lulusan, bukan membentuk manusia.
Sayangnya, nilai-nilai ini tidak selalu diajarkan secara eksplisit. Mereka tidak tertulis di silabus, tak diujikan di akhir semester, dan tidak masuk dalam daftar rapor. Tapi mereka adalah penentu, bukan hanya dalam kehidupan dunia, tapi juga keselamatan akhirat.
Kita tidak sedang merendahkan nilai akademik. Kita hanya ingin mengingatkan: ilmu itu cahaya, tapi tanpa iman, ia bisa menjadi bara. Anak-anak cerdas tanpa panduan tauhid bisa tumbuh menjadi sosok yang angkuh, manipulatif, atau tersesat dalam pemikirannya.
Kita pernah melihat mereka: siswa teladan yang kini jadi pemimpin korup. Profesional unggulan yang kehilangan empati. Guru hebat yang kehilangan adab. Lalu kita bertanya-tanya, “Bagaimana bisa?” Jawabannya sering kali: karena sejak awal, nilai-nilai tidak ditanamkan. Kita mendidik kepala, tapi lupa menumbuhkan hati.
Lupa pada Arah, Sibuk pada Angka
Nilai akademik hari ini menjadi semacam “Tuhan kecil” dalam keluarga. Banyak orang tua rela stres demi les tambahan. Rela menyalahkan anak hanya karena nilainya turun satu poin. Bahkan tak sedikit yang mengukur keberhasilan hidup anak hanya dari deretan angka (nilai), bukan dari apakah ia jujur, shalih, atau amanah.
Pertanyaannya: untuk apa anak pintar kalau tak tahu makna hidup? Untuk apa anak hebat bicara kalau mulutnya sering menyakiti?
Di artikel “Krisis Adab di Zaman Digital: Bagaimana Tauhid Menjadi Solusinya” , kami ulas bagaimana adab sering kali runtuh karena hati tidak dibekali nilai yang hakiki.
Anak-anak hari ini dibesarkan dalam sistem yang menilai mereka seperti mesin: hasil akhirnya harus sama, jalurnya seragam. Padahal setiap anak punya keunikan fitrah, kekuatan, dan waktu tumbuhnya sendiri.
Nilai akademik adalah pencapaian yang bisa dilatih. Tapi nilai-nilai hidup adalah hasil dari pembiasaan, teladan, dan kedalaman iman.
Nilai-nilai hidup adalah warisan dari kehidupan nyata. Ia diajarkan saat anak melihat kita mengembalikan dompet yang bukan milik kita. Ia tumbuh saat mereka mendengar kita beristighfar setelah marah. Ia mengakar saat anak merasa dihargai walau salah, diajak bicara walau sebentar saja, dan dilibatkan walau belum sempurna.
Maka jangan heran jika hari ini banyak anak kehilangan arah, bukan karena tak pandai, tapi karena tak punya kompas batin. Mereka pintar, tapi tidak tahu harus ke mana. Mereka cerdas, tapi tak tahu mana yang benar.
Serupa Tapi Tak Sama
Nilai dan nilai-nilai. Dua kata yang mirip tapi beda nasib. Yang satu sering dikejar, yang satu sering tercecer.
Padahal, jika pendidikan kita dibangun di atas nilai-nilai keimanan, maka nilai akademik pun akan mengikuti, dengan cara yang lebih berkah dan lebih manusiawi. Biidznillah.
Seorang anak yang tumbuh dengan nilai integritas, akan takut mencontek. Anak yang tumbuh dengan nilai keikhlasan, akan belajar bukan karena ingin nilai tinggi, tapi karena ingin menunaikan amanah. Anak yang tumbuh dengan iman, akan mencintai ilmu karena tahu ilmu mendekatkannya kepada Rabb-nya.
Sebagaimana yang kami renungi dalam artikel: “Kenapa Mendidik Anak Terasa Berat, Tapi Bekerja Tidak?” , karena mungkin kita selama ini terlalu sibuk mengatur, tapi lupa mengasuh.
Dan mengasuh tidak bisa diburu-buru. Ia butuh kedekatan, kesabaran, dan keteladanan.
Dan semua ini kembali kepada siapa? Kepada kita. Orang tua, guru, dan para pembimbing yang diberi amanah. Kita bukan hanya bertugas memastikan anak naik kelas, tapi memastikan ia tahu ke mana langkahnya menuju.
Apakah langkah mereka menuju ridha Allah? Ataukah hanya mengejar pujian manusia?
Pendidikan adalah proyek jangka panjang. Maka mari kita bangun dengan fondasi yang tak mudah retak: iman, adab, dan cinta kebenaran.
Harapan untuk Kita Semua
Wahai para orang tua, guru, dan pendidik…
Mari kita kembalikan ruh pendidikan ke tempatnya. Mari jangan hanya sibuk pada angka, tapi sibuklah menanam makna.
Mari hadirkan pendidikan yang membentuk jiwa, bukan hanya mengisi otak. Mari tumbuhkan generasi yang takut kepada Allah, bukan sekadar takut kepada ujian.
Semoga Allah memberkahi setiap langkah kecil kita dalam mendidik. Semoga anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang bukan hanya pintar, tapi juga luhur akhlaknya, lembut lisannya, dan kuat imannya.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.