Bismillah…
Ayah, Bunda, para pendidik yang semoga senantiasa dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla. Di era serba digital seperti saat ini, kita sedang menyaksikan suatu fenomena yang seharusnya membuat kita khawatir, merenung, dan bergerak: krisis adab.
Betapa banyak anak yang kini fasih menyebut istilah-istilah teknologi, namun gagap ketika ditanya cara menghormati orang tua. Pandai menyusun algoritma, tapi kaku dalam menyapa dengan sopan. Terampil mengunggah konten ke media sosial, namun tidak tahu kapan waktunya menunduk sopan kepada guru atau orang yang lebih tua.
Bahkan di rumah-rumah kaum muslimin, adab yang dulu diwariskan turun-temurun (dengan kelembutan, keteladanan, dan semangat keimanan) kini seolah memudar dan tergantikan oleh “aturan buatan sendiri” yang tak lagi bersumber dari wahyu.
Dan semua ini, bukan sekadar soal etika sosial.
Ini adalah gejala rapuhnya akar. Krisis ini bukan sekadar krisis perilaku. Ia adalah krisis aqidah.
Adab dan Tauhid: Dua Hal yang Tak Terpisahkan
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Agama itu seluruhnya adalah adab. Maka siapa yang menambah dalam adabnya, maka sungguh ia telah menambah dalam agamanya.”
Namun adab bukan sekadar tata krama buatan manusia. Adab yang sejati hanya lahir dari ma’rifatullah (mengenal Allah). Hanya dengan mengenal siapa Rabb-nya, manusia tahu kepada siapa ia harus tunduk. Dan hanya dengan mengenal tauhid, anak-anak tahu bahwa menaati orang tua bukan sekadar budaya timur, tapi ibadah yang bernilai di sisi Rabb-nya.
Lemahnya adab adalah buah dari jauhnya seorang anak dari makna tauhid. Ia mungkin tahu bahwa Allah itu ada. Tapi ia tidak merasa diawasi-Nya. Ia tahu bahwa Allah Maha Mengetahui. Tapi ia belum menyadari bahwa setiap perkataannya, sikapnya, bahkan komentarnya di dunia maya, akan dimintai pertanggungjawaban.
Inilah yang menjelaskan mengapa adab anak-anak di zaman ini makin gersang:
karena tauhid belum menjadi akar yang kokoh dalam jiwanya.
Era Digital dan Lenyapnya Keteladanan
Dulu, seorang anak belajar adab langsung dari lisan dan perilaku orang tuanya. Ayahnya yang sabar, ibunya yang lembut, gurunya yang berwibawa dan ikhlas. Rumah menjadi sekolah pertama untuk mengenal kehormatan, penghargaan, dan kesantunan.
Namun di era digital, peran keteladanan itu mulai tergeser. Anak lebih banyak belajar dari layar. Dari konten. Dari potongan-potongan video pendek yang menarik tapi seringkali dangkal. Sumber adab bergeser dari orang yang hidup nyata, menuju tokoh-tokoh maya yang tak dikenal latar belakang agamanya.
Mereka menyerap sikap, gaya bicara, bahkan prinsip hidup dari konten yang belum tentu dibangun di atas kebenaran.
Adab pun mengalami penurunan kualitas:
-
Menjadi sekadar “biar sopan”, bukan karena takut kepada Allah.
-
Menjadi “biar enak dilihat”, bukan karena keikhlasan.
-
Menjadi “norma sosial”, bukan bentuk ubudiyyah.
Solusi: Kembalikan Adab kepada Tauhid
Sebagaimana penyakit yang parah tak cukup diobati dengan balsem, maka krisis adab pun tidak cukup ditambal dengan teori moralitas modern.
Kita butuh kembali pada al-ushul. Kembali pada tauhid sebagai asas pembinaan anak-anak kita.
Mengajarkan anak mengenal Allah bukan dimulai dari doktrin keras, tapi dengan kelembutan iman:
-
Ajak anak mengenal Allah melalui ciptaan-Nya. “Lihat langit, Nak. Siapa yang bisa menahannya tanpa tiang?”
-
Tanamkan rasa diawasi oleh Allah, bukan hanya takut kepada ayah dan ibu.
-
Bangun adab dari pondasi ibadah. Ajarkan bahwa menunduk kepada orang tua adalah bentuk taqwa.
Seorang anak yang kenal Rabb-nya akan tahu mengapa ia harus sopan. Mengapa ia harus bersikap jujur. Dan mengapa ia harus menundukkan pandangan, menjaga lisan, serta memuliakan orang lain.
Karena ia yakin, semua itu bukan sekadar “nilai moral”, tapi ibadah kepada Rabb yang Maha Melihat.
Bukan Sekadar Teori: Ini Jalan Hidup
Sebagian orang mungkin berkata, “Mengajarkan tauhid itu cukup nanti saja, setelah anak paham hal dasar lainnya.” Ini adalah kekeliruan fatal. Tauhid bukan sekadar pelajaran. Ia adalah napas kehidupan.
Dalam artikel sebelumnya, kami telah menyampaikan bagaimana arah pendidikan yang salah bisa mengantarkan anak menjadi cerdas secara akademik, tapi kering secara ruhani. Baca juga: Anak Cerdas tapi Gagal Kenal Rabb-nya?
Anak yang cerdas secara kognitif, tapi miskin nilai tauhid, bisa saja menjadi tokoh, tapi kehilangan orientasi hidup. Bisa jadi produktif, tapi tanpa arah. Bahkan bisa saja menjadi generasi yang membawa kecanggihan teknologi… tapi tak mengenal Allah yang menciptakan akal dan ilmu.
Sungguh, bahaya yang lebih mengerikan dari sekadar “anak tidak sopan” adalah anak yang tidak tahu kepada siapa ia harus tunduk.
Kisah Para Salaf: Adab karena Tauhid
Lihatlah bagaimana para salaf menanamkan adab bukan dengan sekadar aturan, tapi dengan tauhid:
-
Imam Malik rahimahullah, ketika disebut nama Nabi ﷺ, wajahnya berubah pucat. Ia memperbaiki duduknya seakan sedang berada di hadapan Rasulullah ﷺ. Karena ia tahu, Nabi bukan sekadar tokoh sejarah, tapi utusan Rabb-nya.
-
Abdullah bin Mubarak pernah berkata:
“Kami lebih butuh kepada sedikit adab daripada banyaknya ilmu.”
Tapi beliau tidak sekadar mengajarkan adab sosial. Adab itu lahir dari ilmu tauhid yang ia miliki, mengenal Allah, merasa diawasi, dan takut kepada-Nya.
Maka jelas, tauhid adalah kunci adab.
Praktik Praktis: Menanam Tauhid dalam Keseharian Anak
Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan para orang tua dan pendidik agar adab anak-anak kembali tumbuh di atas pondasi tauhid:
-
Ajarkan anak menyebut nama Allah dalam aktivitas sehari-hari. Mulai dari makan, masuk rumah, hingga bercermin.
-
Perkuat pemahaman bahwa Allah selalu melihat. Bukan untuk menakuti, tapi menumbuhkan rasa malu.
-
Gunakan kisah-kisah dari Al-Qur’an dan sirah Nabi untuk menanam nilai. Cerita Nabi Yusuf, Nabi Ibrahim, atau Luqman kepada anaknya (penuh pelajaran tentang tauhid dan adab).
-
Jadikan adab sebagai bagian dari ibadah. Ketika anak menyapa dengan lembut, katakan: “MasyaAllah, itu bentuk taqwa, Nak.”
-
Tanamkan bahwa adab bukan sekadar agar disukai orang, tapi agar dicintai oleh Allah.
Penutup: Saatnya Kita Kembali ke Akar
Krisis adab yang kita saksikan hari ini tidak bisa kita selesaikan hanya dengan membuat aturan, sistem poin, atau hukuman sosial. Kita harus kembali ke akar. Dan akar dari seluruh kebaikan adalah tauhid.
Jika kita ingin melihat generasi yang beradab bukan karena budaya semata, tapi karena keyakinan dan rasa cinta kepada Rabb-nya, maka ajarkanlah mereka siapa Allah, mengapa kita hidup, dan untuk apa kita diciptakan.
“Ketika anak mengenal Rabb-nya, ia pun tahu bagaimana seharusnya ia bersikap. Bukan hanya kepada manusia, tapi kepada seluruh makhluk, dan kepada hidup itu sendiri.”
Dengan penuh kesadaran akan keterbatasan ilmu dan pemahaman kami, tulisan ini disampaikan bukan untuk menggurui, apalagi menyalahkan. Namun sekadar sebagai butiran renungan bersama, agar kita kembali memandang pentingnya tauhid sebagai fondasi utama dalam membina adab dan akhlak anak-anak kita di era digital ini. Jika ada kebaikan dalam tulisan ini, maka itu semata karena taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bila ada kekurangan atau kekeliruan, maka itu datang dari diri kami yang lemah. Semoga Allah mengampuni dan membimbing kita semua di jalan yang lurus. Aamiin.