Bismillah.
Ada satu pertanyaan yang kerap menghantui orang tua, terutama yang telah begitu bersemangat dalam urusan pekerjaan namun mudah merasa letih saat diminta hadir penuh dalam mendidik anak:
Mengapa kita bisa bekerja selama 6 jam dengan semangat, tapi 1 jam mendampingi anak terasa begitu berat?
Pertanyaan ini bukan sekadar refleksi emosional. Ia mengungkapkan sebuah ketimpangan yang serius dalam prioritas dan kesiapan peran. Dan jika kita jujur pada diri sendiri, maka akan kita temukan bahwa salah satu sebab utamanya adalah soal keterampilan, atau dalam istilah psikologi disebut personal resources.
Mendidik Anak: Pekerjaan Besar yang Sering Dianggap Ringan
Sebagian besar dari kita tidak pernah menganggap perlu “belajar” dulu sebelum menjadi orang tua. Seolah-olah cukup dengan cinta dan niat baik, maka semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, sebagaimana pekerjaan apapun di dunia, mendidik anak pun membutuhkan ilmu dan keterampilan.
Kalau sebagai akuntan kita perlu memahami sistem pencatatan yang rapi dan software akuntansi, kalau sebagai desainer kita perlu menguasai tools dan prinsip estetika, maka sebagai orang tua kita perlu tahu bagaimana menghadapi tantrum, bagaimana menyikapi anak yang berbohong, bagaimana menyampaikan nilai dengan cara yang menyentuh hati.
Sayangnya, tidak semua orang tua menyadari ini. Maka wajar, semangat pun mudah redup ketika berhadapan dengan hal-hal yang tidak kita kuasai.
Mengapa Semangat Itu Luntur?
Dalam psikologi, dikenal istilah personal resources, yakni kapasitas individu berupa keterampilan, kesadaran diri, dan ketangguhan emosi. Ketika personal resources kita rendah dalam bidang parenting, maka setiap tantangan akan terasa seperti beban berat.
Berikut beberapa contoh personal resources yang sangat penting bagi orang tua:
- Kontrol Diri (Self-Control)
Kemampuan untuk melakukan yang semestinya meskipun tidak menyenangkan atau berat. Misalnya tetap mendengarkan anak meskipun kita sedang penat atau sibuk. - Negosiasi Efektif
Keterampilan untuk mendengarkan dengan empati, merespons dengan logis, dan menyampaikan pesan dengan tenang. Tanpa ini, kita mudah jatuh dalam pola komunikasi satu arah yang keras. - Kesadaran Diri (Self-Awareness)
Mampu memahami kondisi batin sendiri dan mengakuinya. Menyadari bahwa kita sedang lelah, bahwa kita butuh jeda, dan itu bukan sebuah kelemahan. - Muraqabah (Kehadiran Rasa Diawasi Allah)
Inilah yang membedakan antara parenting Islami dengan sekadar teknik. Bahwa mendidik anak adalah amanah, bukan beban. Bahwa kelelahan hari ini bisa menjadi tabungan pahala esok hari. Orang tua yang menghadirkan muraqabah tidak akan mudah menyakiti anak—karena ia sadar Allah menyaksikan.
Teladan yang Hilang di Era Digital
Jika dua artikel sebelumnya menyoroti pentingnya figur yang bisa diteladani di tengah gempuran konten digital, maka persoalan ini saling terkait erat. Sebab bagaimana mungkin anak bisa meneladani orang tua yang tidak hadir sepenuh hati? Atau bahkan yang enggan belajar bagaimana mendidik dengan benar?
Dulu, seorang anak belajar adab langsung dari lisan dan perilaku orang tuanya. Ayahnya yang sabar, ibunya yang lembut, gurunya yang berwibawa dan ikhlas. Rumah menjadi sekolah pertama untuk mengenal kehormatan, penghargaan, dan kesantunan.
Namun kini, peran keteladanan itu mulai tergeser. Anak lebih banyak belajar dari layar. Dari konten. Dari potongan video pendek yang menarik tapi seringkali dangkal. Orang tua yang tidak memantaskan diri sebagai figur panutan akan kehilangan kesempatan untuk mentransfer nilai sejati.
Solusinya: Kembali Belajar, Kembali Ikhlas
Salah satu langkah awal untuk menumbuhkan semangat dalam mendidik anak adalah dengan menyadari bahwa mendidik memang butuh skill. Dan skill ini bisa dan harus dilatih.
Tidak perlu memulai dari hal besar. Bahkan sekadar belajar mengatur emosi ketika anak rewel adalah awal yang baik. Atau mulai menata jadwal agar punya 30 menit waktu berkualitas bersama anak tanpa distraksi gadget. Kuncinya ada pada kesadaran bahwa mendidik bukan aktivitas sampingan, melainkan amanah utama.
Sebagaimana kita semangat upgrade ilmu dan skill untuk pekerjaan dunia, mestinya lebih besar semangat kita dalam meng-upgrade ilmu mendidik. Karena dampaknya bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk masa depan anak, bahkan untuk akhirat kita sendiri.
Penutup
Kami sadar, sebagai orang tua atau guru, kita semua berada dalam proses panjang yang tak selalu mudah. Mendidik adalah perjuangan. Penuh keletihan, keraguan, dan kadang kekecewaan. Namun insyaAllah, dengan terus belajar dan memperbaiki niat, setiap peluh yang menetes akan dihitung sebagai amal shalih di sisi Rabb kita. Semoga Allah menolong setiap langkah kita, meluruskan niat, dan menguatkan hati untuk terus menjadi pendidik yang hadir, ikhlas, dan layak diteladani.
Baca juga artikel sebelumnya:
➡️ “Ketika Teladan Menghilang di Era Digital” – klik di sini
➡️ “Adab Anak di Dunia Maya” – klik di sini