Mengapa Anak Sulit Diajak Sholat?
Bismillah.. Ayah, Bunda, dan para pendidik yang semoga senantiasa dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla.
Pernahkah kita merasa khawatir, mengapa anak-anak begitu sulit diajak sholat, padahal kita sudah menasihati berkali-kali? Atau mungkin mereka sholat hanya ketika disuruh, tanpa benar-benar memahami maknanya?
Banyak orangtua mengaku kewalahan mengajak anaknya sholat. Sudah diingatkan berkali-kali, bahkan dengan nada tegas, namun hasilnya tetap sama: anak masih menunjukkan sikap malas, menunda, atau hanya sholat ketika diawasi. Di titik itu, kita sering merasa gagal sebagai orangtua.
Padahal, bisa jadi masalahnya bukan pada diri anak kita, melainkan cara mendidik anak sholat yang sering kali masih berorientasi pada perintah, bukan pada kesadaran. Kita ingin anak rajin ibadah, tapi pendekatan kita justru membuat mereka merasa terbebani.
Anak-anak itu tidak bisa dipaksa mencintai sesuatu yang belum mereka pahami maknanya. Dan sayangnya, banyak dari kita mengajarkan “wajibnya sholat” tanpa pernah menunjukkan mengapa sholat itu penting bagi hati dan kehidupan mereka.
Ketika Ibadah Hanya Jadi Rutinitas Kosong
Coba Ayah Bunda bayangkan, seorang anak yang tumbuh dengan perintah seperti, “Sholat! Nanti dosa kalau tidak!” mungkin akan taat, tapi bukan karena cinta, melainkan karena takut pada Ayah Bunda. Ketika tidak ada lagi yang mengawasi, kepatuhan itu pun hilang. Inilah akar masalah utama pendidikan iman: kita terlalu fokus pada perilaku, bukan pada makna di baliknya.
Anak-anak adalah makhluk visual dan emosional. Mereka memahami dunia melalui cerita, warna, dan permainan, bukan sekadar instruksi. Jika sholat hanya disampaikan sebagai kewajiban abstrak, anak tidak merasakan hubungan spiritual apa pun. Namun jika sholat dijelaskan melalui simbol, rasa, dan pengalaman yang nyata, barulah tumbuh kesadaran bahwa sholat adalah bagian dari keutuhan dirinya. Itulah pelajaran terbesar yang saya temukan ketika mencoba pendekatan baru di rumah.
Cara Mendidik Anak Sholat Lewat Lego dan Makna
Suatu sore, saya duduk bersama anak saya di ruang tamu. Saya menyiapkan 17 balok lego warna-warni, mewakili 17 rakaat sholat fardhu yang kita lakukan setiap hari. Saya susun lego-lego itu menyerupai tubuh manusia kecil: kepala, dada, lengan, perut, dan kaki (seperti terlihat pada foto). Kemudian saya katakan padanya:
“Nak, coba lihat ini. Kalau kamu tidak sholat Subuh, buang dua lego di kepala. Berarti kamu berjalan tanpa kepala.”
Anak saya tertawa, tapi ia mengerti. Lalu saya lanjutkan,
“Kalau kamu tidak sholat Dzuhur, buang empat lego di lengan. Tanpa sholat Dzuhur, kamu seolah tidak punya lengan dan kekuatan untuk berbuat baik.”
“Kalau tidak sholat Ashar, buang empat lego di dada. Artinya kamu berjalan tanpa area dada, di mana sebagian organ penting ada di situ, termasuk hati.”
“Kalau lupa Maghrib, buang tiga lego di perut. Perutmu akan bolong, kamu akan lapar terus menerus, tapi bukan karena makanan, tapi karena semangat dan jiwamu kosong.”
“Kalau tidak sholat Isya’, buang empat lego di kaki. Kamu tak punya kaki dan tak bisa melangkah ke arah yang benar.”
Setiap kali satu bagian dilepas, bentuk tubuh itu menjadi tidak lengkap. Anak saya mulai memahami: tanpa sholat, manusia kehilangan bagian dari dirinya. Bukan karena dimarahi, tapi karena ia sendiri melihat ketidaksempurnaan itu. Itulah faedah dan hikmah dari pendekatan psikologis yang visual dan maknawi. Anak belajar bukan semata karena takut dosa, tapi karena ia merasakan makna ibadah itu di dalam dirinya.
Mengubah Perspektif Orangtua
Sebagai orangtua, kita sering fokus pada hasil: “Anak saya harus rajin sholat.” Padahal, yang perlu ditanamkan terlebih dahulu adalah “anak saya harus memahami makna sholat.” Ketaatan sejati tumbuh dari kesadaran, bukan tekanan. Ketika kita mengubah pendekatan dari perintah menjadi pengalaman, anak-anak mulai menikmati prosesnya. Sholat bukan lagi beban, tapi menjadi refleksi diri: saat bersyukur, menenangkan hati, dan menyusun ulang keutuhan jiwanya, seperti lego yang membentuk tubuhnya.
Tips Praktis Cara Mendidik Anak Sholat dengan Cinta dan Makna
Berikut langkah-langkah yang bisa diterapkan di rumah, disertai alasan psikologis dan contoh nyata agar lebih bermakna:
1. Gunakan permainan simbolik sebagai media belajar spiritual.
Anak-anak berpikir konkret. Gunakan lego, puzzle, atau gambar tubuh manusia untuk menggambarkan hubungan antara sholat dan keutuhan diri. Misalnya, setiap balok mewakili satu rakaat. Ketika satu sholat terlewat, minta anak melepas beberapa bagian tubuh lego. Ia akan melihat bahwa tanpa sholat, tubuh itu menjadi tidak sempurna, sebuah pesan kuat yang mudah dipahami tanpa harus dimarahi.
2. Ceritakan makna di balik setiap waktu sholat.
Jangan hanya katakan “Subuh itu wajib.” Jelaskan konteks emosional dan spiritualnya:
-
Subuh: awal kehidupan baru, saat dunia mulai bernapas.
-
Dzuhur: waktu rehat, simbol keseimbangan di tengah kesibukan.
-
Ashar: refleksi diri, menilai apakah hari kita penuh manfaat.
-
Maghrib: waktu bersyukur, saat langit dan hati sama-sama tenang.
-
Isya’: waktu menyerahkan diri, menutup hari dengan doa dan ketenangan.
Dengan penjelasan seperti ini, anak akan memahami bahwa setiap sholat punya makna kehidupan, bukan sekadar aturan.
3. Libatkan anak secara aktif.
Anak akan lebih menghargai ibadah ketika ia menjadi bagian dari prosesnya. Ajak mereka menyusun lego sendiri, membuat jadwal sholat versi mereka, atau menempelkan bintang kecil di kalender setiap kali berhasil sholat lima waktu. Keterlibatan ini menumbuhkan sense of ownership (rasa memiliki dan kebanggaan spiritual).
4. Jadikan momen sholat sebagai waktu kebersamaan keluarga.
Ajak anak Sholat berjamaah di masjid bersama ayahnya (bagi laki-laki) atau berjamaah di rumah bersama ibunya (bagi perempuan) agar menumbuhkan rasa aman dan cinta. Anak tidak hanya belajar gerakan, tapi juga kehangatan. Ia akan merasakan bahwa sholat bukan kewajiban individual, melainkan kegiatan yang menghubungkan hati antaranggota keluarga. Bahkan setelah dewasa, kenangan inilah yang sering membuat anak rindu untuk kembali ke rumah dan kembali pada Allah.
5. Tunjukkan keteladanan yang konsisten dan lembut.
Anak meniru lebih cepat daripada mendengar. Jika orangtua sering menunda atau tergesa-gesa sholat, anak akan meniru hal yang sama. Namun jika mereka melihat kita berwudhu dengan tenang, berdoa dengan khusyuk, dan tersenyum setelah salam, mereka belajar nilai spiritual yang lebih dalam: bahwa sholat itu menenangkan, bukan membebani. Setiap langkah kecil ini, jika dilakukan dengan cinta, akan menumbuhkan kebiasaan besar dalam diri anak. Biidznillah..
Mengapa Pendekatan Ini Efektif
Pendekatan ini bekerja karena sesuai dengan cara kerja otak anak. Anak usia dini hingga pra-remaja belajar lebih efektif melalui cerita dan visualisasi konkret. Dengan permainan, mereka tidak merasa sedang “diajar”, tetapi merasakan sendiri nilai yang diajarkan.
Selain itu, pendekatan ini juga menumbuhkan empati spiritual, anak memahami bahwa sholat bukan hanya ritual, tetapi bentuk cinta kepada dirinya sendiri dan kepada Allah. Ketika makna itu tumbuh, maka kebiasaan akan mengikuti dengan sendirinya. Anak tidak hanya sholat karena diperintah, tapi karena ingin merasa utuh, damai, dan dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla.
Mendidik Bukan Memaksa, Tapi Menyadarkan
Anak-anak bukan cermin kosong yang serta-merta bisa kita isi dengan perintah. Mereka adalah taman yang tumbuh dengan cahaya kasih, teladan, dan pemahaman yang lembut.
Maka, jika selama ini kita kesulitan membuat anak rajin sholat, jangan dulu menyalahkan mereka.
Coba lihat kembali pendekatannya. Apakah kita sudah mengajarkan makna, bukan sekadar gerakan?
Setiap rakaat sholat adalah satu potongan lego kehidupan, menyusun keutuhan manusia seutuhnya. Dan tugas kita sebagai orangtua adalah memastikan potongan itu tersambung dengan cinta, bukan paksaan.
Bagikan Pengalaman Anda
Saya percaya, setiap keluarga punya caranya sendiri dalam menanamkan cinta pada sholat. Bagaimana dengan Ayah Bunda? Apakah Anda punya metode atau kisah unik tentang cara mendidik anak sholat di rumah? Silakan bagikan pengalaman dan tips Anda di kolom komentar, siapa tahu bisa menjadi inspirasi bagi orangtua lainnya.
📘 Download Panduan Lengkapnya
Bagi Ayah Bunda yang belum sempat membaca, kami baru merilis ebook gratis berjudul “9 Prinsip Mendidik Anak di Era Digital.”
Di dalamnya, saya membahas bagaimana menanamkan nilai iman dan karakter di tengah gempuran teknologi dengan cara yang lembut, logis, dan mudah dipahami. Silahkan Download secara gratis di: https://tauhid.web.id/freebook
Dan bagi Ayah Bunda yang ingin menumbuhkan kembali keindahan makna sholat dalam diri sendiri dan keluarga, saya merekomendasikan beli buku berjudul “Shalat yang Kurindu.” Bisa cek detail produknya di tautan berikut: Info produk
Sebuah refleksi tentang bagaimana ibadah bisa kembali menjadi ruang rindu, bukan sekadar rutinitas.
Semoga keduanya bisa menjadi teman perjalanan dalam mendidik anak, dan menumbuhkan cinta kepada Allah di tengah kesibukan dunia. Baarakallahu fiikum.